MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN STRABISMUS
(MATA JULING)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa karena dengan RahmatNya tugas kami yang membahas tentang “Asuhan Keperawatan Strabismus (Mata Juling)”
ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini tidak dapat terselesaikan
tanpa bantuan, arahan serta bimbingan dari berbagai pihak, maka dari itu
izinkan kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut serta
membantu penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa sepenuhnya makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan segala masukan
berupa kritik maupun saran demi perbaikan makalah ini dan penyusunan
makalah-makalah berikutnya.
Akhir kata dengan suatu harapan yang
tinggi, semoga makalah ini menjadi suatu yang bermanfaat bagi kita semua
khususnya mahasiswa keperawatan.
.
Mataram, Oktober 2016
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
BAB I TINJAUAN TEORI STRABISMUS
(MATA JULING) ..................... 1
A.
Definisi ................................................................................................... 1
B.
Etiologi ................................................................................................... 3
C.
Klasifikasi ............................................................................................... 3
D.
Patofisiologi ............................................................................................ 6
E.
Manifestasi Klinis ................................................................................... 6
F.
Pemeriksaan Diagnostik ......................................................................... 7
G.
Komplikasi .............................................................................................. 9
H.
Test Tambahan ........................................................................................ 9
I.
Penatalaksanaan Medis ......................................................................... 10
BAB II ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN
STRABISMUS ....... 12
A.
Pengkajian ............................................................................................ 12
B.
Diagnosa Keperawatan ......................................................................... 12
C.
Intervensi .............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
TINJAUAN TEORI STRABISMUS (MATA JULING)
A.
Definisi
Strabismus atau juling berarti suatu kelainan posisi bola mata dan bisa
terjadi pada arah atau jarak penglihatan tertentu saja, misalnya kelainan
posisi untuk penglihatan jarak jauh saja atau ke arah atas saja, atau
terjadi pada semua arah dan jarak penglihatan.
Kata strabismus pada saat ini sering digunakan dalam pengertian suatu
cabang ilmu penyakit mata yang nempelajari kelainan penglihatan binokular yang
disebabkan oleh tidak adanya satu atau lebih persaratan tersebut tersebut di
atas. Nama lain yang lebih tepat untuk strabismus adalah “VISUAL SENSORIMOTOR
ANOMALIES”.
Telah dikemukakan bahwa untuk dapat melihat secara normal diperlukan sarat
bahwa visus kedua mata adalah sama baiknya, faal ototnya baik dan susunan saraf
pusat cukup baik untuk mensitesa bayangan yang dikirimkan oleh kedua mata kita.
Pengobatan terhadap penderita dengan strabismus adalah bertujuan untuk
mengembalikan penglihatan birokuler yang normal, hingga pengobatan terhadap
strabismus adalah memenuhi persyaratan untuk mencapai penglihatan binokuler
tersebut diatas : dengan kata lain secara terhadap memperbaiki visus kedua
matanya, kemudian memperbaiki posisi kedua mata hingga mencapai kedudukan
“orthophoria” dan terakhir melatih
penderita menyatukan dua bayangan dari kedua matanya.
Usaha memperbaiki visus dimulai pada umur yang sedini mungkin, semenjak
saat terlihat bahwa si anak mempunyai keinginan melatih untuk menggunakan hanya
satu matanya.
Apabila pada keadaan tersebut diatas mata yang baik ditutup atau diberi
obat tetes atropin, maka si anak akan terpaksa memakai mata yang malas dan pada
anak yang berumur dibawah 6 tahun, akan memperbaiki kemampuan penglihatannya .
pengobatan di hentikan bila tercapai keadaan fiksasi yang bergantian antara
mata kanan dan kiri.
Perbaikan posisi bola mata dilakukan pada umur dimana pemeriksaan mengenai
otot-otot matanya sudah dapat dilakukan dengan lebih teliti, karena pemeriksaan
tersebut memerlukan kerja sama yang baik antara si anak dengan dokternya.
Dasar daripada perbaikan posisi bola mata adalah melakukan pembedahan pada
otot-otot mata dengan melemahkan otot yang bekerja terlalu kuat dan memperkuat
otot yang bekerja terlalu lama. Perbaikan posisi bola mata ini dilakukan pad
umur sekitar 4-5 tahun agar strabismus yang masih tidak terkoreksi oleh
pembedahan masih bisa diperbaiki dengan pemberian latihan-latihan menggunakan
kedua matanya.
Pengobatan sukar dilakukan untuk membuat mata menjadi lurus kembali pada
mata juling yang sudah ambliotia atau sudah terjadi korespondensi pada retina
abnormal dimana telah terjadi
penglihatan tunggal pada mata yang juling tersebut.oleh sebab itu bila
kita menemukan mata juling dengan korespondensi retina abnormal atau terdapat
ambliopia, sebaiknya segera memberikan perawatan untuk mencegah keadaan menjadi
menetap. Dalam keadaan ini perlu pengawasan yang baik pada anak bila terlihat
juling.
Bila telah terjadi juling maka dilakukan:
1.
Latihan
2.
Kaca mata bila ada kelainan refraksi
3.
Tindakan pembedahan pada otot yang
mengakibatkan kedudukan bola mata tidak normal
Bila mata baru mengalami juling akan tejadi keluhan diplopia atau
penglihatan ganda. Bila satu mata dengan esotropia atau juling kedalam maka
bayangan pada mata tersebut akan
terletak disebalah nasal makula lutea sehingga benda tersebut seakan-akan
terletak diluar atau jauh bersebelahan dengan benda yang dilihat dengan mata
yang baik. Akibatnya, akan terjadi gangguan penglihatan bayangan kedua benda
sekaligus secara tunggal. Kadang-kadang kedua bayangan ini sangat mengganggu
penderita. Untuk menghindari hal ini mata yang tidak berfiksasi akan melakukan
supresi. Bila hal ini terjadi bergantian maka mata terus-menerus akan terjadi
skotoma supresi pada mata yang juling, maka mata ini akan mengalami ambliopia.
Ambliopia akan mudah terjadi bila mata juling terdapat pada anak berusia
dibawah 5 tahun.
B.
Etiologi
1. Faktor
Keturunan
“Genetik Pattern”nya belum diketahui dengan pasti, tetapi akibatnya sudah
jelas. Bila orang tua yang menderita strabismus dengan operasi berhasil baik,
maka bila anaknya menderita strabismus dan operasi akan berhasil baik pula.
2.
Kelainan Anatomi
Kelainan otot ekstraokuler
-
Over development
-
Under development
-
Kelainan letak insertio otot
3. Kelainan
pada “vascial structure”
Adanya kelaian hubungan vascial otot-otot ekstraokuler dapat menyebabkan
penyimpangan posisi bola mata.
4. Kelainan
dari tulang-tulang orbita
-
Kelainan pembentukan tulang orbita
menyebabkan bentuk dan orbital abnormal, sehingga menimbulkan penyimpangan bola
mata.
-
Kelainan pada saraf pusat yang tidak
bisa mensintesa rangsangan.
-
Fovea tidak dapat menangkap
bayangan.
-
Kelainan kwantitas stimulus pada
otot bola mata.
-
Kelainan Sensoris
5. Kelainan
Inervasi
-
Gangguan proses transisi dan
persepsi
C.
Klasifikasi
Menurut Arah Deviasi
1.
Exotropia (Strabismus Divergen)
-
Frekuensi lebih sedikit daripada
esotropia
-
Sering suatu exotropia dimulai dari
exoforia yang kemudian mengalami progresifitas menjadi intermittent exotopia
yang pada akhirnya menjadi exotropia yang konstan, bila tidak diberi pengobatan
-
Paling sering terjadi monokuler,
tetapi mungkin pula alternating.
-
Pengobatan : tergantung penyebabnya,
yang sering kasus ini memerlukan tindakan operasi.
2. Esotropia
a.
Non Paralytic (Comitant)
Non
Akomodatif Esotropia Dibagi menjadi :
1) Esotropia
Infantil
Paling sering dijumpai. Sesuai kesepakatan agar memenuhi syarat batasan,
maka terjadinya esotropia harus sebelum umur 6 bulan. Penyebab belum diketahui
secara pasti.
2) Esotropia
Didapat
Timbulnya pada masa anak-anak, tetapi tidak ada faktor akomodasi. Sudut
strabismusnya mula-mula lebih kecil daripada esotropia kongenital tetapi akan
bertambah besar.
3)
Esotropia Miopia
Timbulnya pada orang dewasa muda dan ada diplopia untuk memandang jauh,
yang lambat laun akan untuk memandang dekat.
Tanda klinik :
1) Pada yang
monokuler : anomali refraksinya sering lebih menyolok pada satu mata
(anisometropia).
2)
Pada yang alternating : anomali
refraksinya hampir sama pada kedua mata.
3)
Pengobatan :
-
Oklusi : tujuannya adalah menyamakan
visus kedua mata yang ditutup ialah mata yang baik. Oklusi ini dapat
dikombinasikan dengan Orthoptica untuk mengembagkan fungsi binokuler
-
Operasi
Akomodatif
Esotropia
Terjadi bila ada mekanisme akomodasi fisiologis yang normal, tetapi ada
divergensi fusi relatif yang kurang untuk mempertahankan mata supaya tetap
lurus.
Ada 2
mekanisme patofisiologi yang terjadi :
-
Hiperophia tinggi yang memerlukan
akomodasi kuat agar bayangan menjadi jelas, sehingga timbul esotropia.
-
Rasio KA/A yang tinggi, yang mungkin
disertai kelaina refraksi.
Kedua
mekanisme ini dapat timbul pada satu penderita
-
Esotropia akomodatif karena
hiperophia
Hiperophia ini khas, timbulnya pada usia 2-3 tahun, tetapi dapat juga
terjadi pada bayi / usia yang lebih tua
-
Esotropia akomodatif karena rasio
KA/A yang tinggi
Terjadi reaksi knvergensi abnormal sewaktu sinkinesis dekat. Kelainan
refraksinya mungkin bukan hiperophia, meskipun sering ditemukan hiperophia
sedang.
Karena penyebabnya hypermetropia, maka pengobatannya adalah kacamata. Bila
pengobatan ditunda sampai dari 6 bulan dari onsetnya, sering terjadi
amblypobia. Untuk amblypobia pengobatannya dengan oklusi terlebih dahulu.
3. Kombinasi
Keduanya
a.
Paralytic (Non-Comitant)
Pada strabismus selalu ada salah satu / lebih otot
ekstra okuler yang paralitik dan otot yang paralitik selalu salah satu otot
rectus lateral, biasanya sebagai akibat paralisis syaraf abdusen.
Penyebabnya
:
-
Dewasa : CVA, Tumor (CNS,
Nasopharyng), Radang CNS (Central Nervous
System), Trauma.
-
Bayi atau anak-anak : trauma
kelahiran, kelainan kongenital.
D. Patofisiologi
E. Manifestasi Klinis
1. Gerak mata terbatas, pada daerah
dimana otot yang lumpuh bekerja. Hal ini menjadi nyata pada kelumpuhan total
dan kurang nampak pada parese. Ini dapat dilihat, bila penderita diminta supaya
matanya mengikuti suatu obyek yang digerakkan ke 6 arah kardinal, tanpa
menggerakkan kepalanya (excurtion test). Keterbatasan gerak kadang-kadang hanya
ringan saja, sehingga diagnosa berdasarkan pada adanya diplopia saja.
2. Deviasi
Kalau mata
digerakkan kearah lapangan dimana otot yang lumpuh bekerja, mata yang sehat
akan menjurus kearah ini dengan baik, sedangkan mata yang sakit tertinggal. Deviasi ini
akan tampak lebih jelas, bila kedua mata digerakkan kearah dimana otot yang
lumpuh bekerja. Tetapi bila mata digerakkan kearah dimana otot yang lumpuh ini
tidak berpengaruh, deviasinya tak tampak.
3. Mata melihat lurus kedepan,
esotropia mata kanan nyata. Mata melihat kekiri tak tampak esotropia. Mata
melihat kekanan esotropia nyata sekali.
4. Parese m.rektus lateral mata
kanan Mata kiri fiksasi (mata sehat) mata kanan ditutup (mata sakit) deviasi
mata kanan=deviasi mata primer Mata kiri yang sehat ditutup, mata kanan yang
sakit fiksasi, deviasi mata kiri = deviasi sekunder, yang lebih besar dari pada
deviasi primer.
5. Diplopia : terjadi pada lapangan
kerja otot yang lumpuh dan menjadi lebih nyata bila mata digerakkan kearah ini.
6. Ocular torticollis (head
tilting).Penderita biasanya memutar kearah kerja dari otot yang lumpuh. Kedudukan kepala yang miring, menolong diagnosa strabismus paralitikus.
Dengan memiringkan kepalanya, diplopianya terasa berkurang.
7. Proyeksi
yang salah. Mata yang lumpuh tidak melihat obyek pada lokalisasi yang benar.
Bila mata yang sehat ditutup, penderita disuruh menunjukkan suatu obyek yang
ada didepannya dengan tepat, maka jarinya akan menunjukkan daerah disamping
obyek tersebut yang sesuai dengan daerah lapangan kekuatan otot yang lumpuh. Hal ini disebabkan, rangsangan yang nyata lebih besar dibutuhkan oleh otot
yang lumpuh, untuk mengerjakan pekerjaan itu dan hal ini menyebabkan tanggapan
yang salah pada penderita.
8. Vertigo, mual-mual, disebabkan
oleh diplopia dan proyeksi yang salah. Keadaan ini
dapat diredakan dengan menutup mata yang sakit.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. E-chart /
Snellen Chart
Pemeriksaan dengan e-chart digunakan pada anak mulai umur 3 - 3,5 tahun,
sedangkan diatas umur 5 – 6 tahun dapat digunakan Snellen chart.
2.
Untuk anak di bawah 3 th dapat
digunakan cara
a. Objektif
dengan optal moschope
b. Dengan
observasi perhatian anak dengan sekelilingnya
c. Dengan
oklusi / menutup cat mata
3. Menentukan anomaly refraksi
Dilakukan
retroskopi setelah antropinisasidengan atropin 0,5 % - 1 %
4. Retinoskopi
Sampai usia 5 tahun anomali refraksi dapat ditentukan secara objectif
dengan retinoskopi setelah atropinisasi dengan atropin 0,5 % - 1 %, diatas usia
5 tahun ditentukan secara subbjektif seperti pada orang dewasa.
5.
Cover Test : menentukan adanya
heterotropia
6.
Cover Uncovertest : menentukan
adanya heterophoria
7.
Hirsberg Test
Pemeriksaan
reflek cahaya dari senter pada permukaan kornea.
Cara :
a. Penderita
melihat lurus ke depan
b. Letakkan
sebuah senter pada jarak 1/3 m = 33 cm di depan setinggi kedua mata pederita
c. Perhatika
reflek cahaya dari permukaan kornea penderita.
d. Prisma +
cover test
Mengubah
arah optic garis pandang
8.
Uji Krimsky
Mengukur
sudut deviasi pada juling dengan meletakkan ditengah cahaya refleks kornea
dengan prisma.
9.
Pemeriksaan gerakan mata
-
Pemeriksaan pergerakan monokuler
Satu mata ditutup dan mata yang lainnya mengikuti cahaya yang digerakkan
kesegala arah pandangan,sehingga adanya kelemahan rotasi dapat diketahui.
Kelemahan seperti ini biasanya karena para usis otot atau karena kelainan
mekanik anatomic.
-
Pemeriksaan pergerakan binokuler
Pada tiap-tiap mata ,bayangan yang ditangkap oleh fovea secara subjektif
terlihat seperti terletak lurus didepan .apabila ada 2 objek yang berlainan
ditangkap oleh 2 fovea, kedua objek akan terlihat seperti terletak lurus
didepan .apabila ada 2 objek akan terlihat saling tindih,tetapi jika ada
ketidak samaan menyebabkan fusi tidak memberikan kesan tunggal.
G. Komplikasi
1. Supresi
Usaha yang tidak disadari dari penderita untuk menghindari diplopia yang
timbul akibat adanya deviasinya.
2.
Amblyopia
Menurunnya visus pada satu atau dua mata dengan atau tanpa koreksi kacamata
dan tanpa adanya kelainan organiknya.
3.
Anomalus Retinal Correspondens
Suatu keadaan dimana favea dari mata yang baik (yang tidak berdeviasi)
menjadi sefaal dengan daerah favea dari mata yang berdeviasi.
4. Defect otot
Perubahan-perubahan sekunder dari striktur konjungtiva dan jaringan fascia
yang ada di sekeliling otot menahan pergerakan normal mata.
5. Adaptasi
posisi kepala
Keadaan ini dapat timbul untuk mengindari pemakaian otot yang mengalami
efecyt atau kelumpuhan untuk mencapai penglihatan binokuler. Adaptasi posisi
kepala biasanya kearah aksi dari otot yang lumpuh.
H. Test Tambahan
Pemeriksaan Ini dilakukan untuk mengukur derajat strabismus. Diantaranya:
1. Tes Hisch
Berg
Caranya :
Penderita disuruh untuk melihat cahaya pada jarak 12 inci (30cm).
perhatikan reflek cahaya terhadap pupil. Kalau letak nya di pinggir pupil, maka
deviasinya 15 derajat, tapi kalau letaknya diantara pinggir pupil dan limbus
maka deviasinya 30 derajat dan jika letak nya di limbus, maka derajat
deviasinya 45 derajat.(catt : 1 derajat= 2 prisma diopter)
2.
Tes Krimsky
Caranya:
Penderita melihat kesumber cahaya yang jarak nya ditentukan. Perhatikan
reflek cahaya pada mata yang berdeviasi. Kekuata prisma yang terbesar
diletakkan di depan mata yang brdeviasi, sampai reflek cahaya yang terletak
disentral kornea
3.
Tes Maddox Cross
Maddox Cross terdiri dari satu palang dengan tangan dari silang nya 1 m.
pada jarak 1m dari Maddox cross, kedua mata penderita, musle light yang
terletak ditengah-tengah Maddox cross dan ujung Maddox cross membentuk segitiga
sama kaki dengan sudut dasarnya 45o
Suruh penderita melihat muscle light, kalau tidak ada strabismus, reflek
cahaya terletak di tengah-tengah pupil, namu bila strabismus, letaknya
eksentrik
4.
Tes Pemeriksaan Rotasi Monokuler
Caranya:
Diperiksa dengan salah satu mata ditutup, sedangkn mata yang lain mengikuti
cahaya atau objek yang diarahkan kesemua arah. Kelemahan deduksi dapat
diketahui yang disebabkan oleh kelemahan otot atau kelainan anatomis dari otot.
5.
Uncover Test
Caranya:
Pasien diminta melihat objek fiksasi. Mata kanan ditutup dan mata kiri
tidak. Lalu dibuka, segera perhatikan, bila bola mata bergerak, heterophoria
diam, orhoporia, exophoria bergerak nasal.
I. Penatalaksanaan Medis
1. Orthoptic
a. Oklusi
Mata yang sehat ditutup dan diharuskan melihat dengan mata yang
ambliop.oklusi sebagian juga harus bisa dilakukan dengan membrane plastik,
pita, lensa, atau mata ditutup dengan berbagai cara.
b. Pleotic
c. Obat-obatan
d. Latihan dengan synoptophone
2. Memanipulasi
akomodasi
a. Lensa plus /
dengan miotik
Menurunkan
beban akomodasi dan konvergensi yang menyertai
b.
Lensa minus dan tetes siklopegik
Merangsang
akomodasi pada anak-anak
3.
Penutup Mata
Jika anak menderita strabismus dengan ambliopia, dokter akan
merekomendasikan untuk melatih mata yang lemah dengan cara menutupmata yang
normal dengan plester mata khusus (eye patch). Penggunaan plester mata harus
dilakukan sedini mungkindan mengikuti petunjuk dokter. Sesudah berusia 8 tahun
biasanya dianggap terlambat karenapenglihatan yang terbaik berkembang sebelum
usia 8 tahunPrisma
4.
Suntikan toksin botulin
5.
Operatif
a. Recession : memindahkan
insersio otot
b. Resertion :
memotong otot ekstraokuler
BAB II
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN STRABISMUS
(MATA
JULING)
A.
Pengkajian
1.
Biodata:
Nama, Umur, Jenis kelamin,
Pekerjaan, Alamat, Pendidikan
2.
Keluhan utama: Merasa mata tidak lurus, sakit kepala, mata
seperti melihat ganda.
3.
Riwayat penyakit sekarang: Penyimpangan pengihatan,
Penggunaan kacamata dengan kelainan ruang yang jauh antara mata kanan dan kiri,
Adanya trauma mata, Terlihat mata ambliopia dan histagmus, Mata hipermetropi.
4.
Riwayat penyakit dahulu: Adanya penyakit DM, stroke,
hipertensi, trauma kepala, infeksi mata, pengobatan lase.
5.
Riwayat penyakit keluarga: Adanya DM, stroke, hipertensi,
strabismus.
6.
Pemeriksaan fisik
a.
TTV (tensi, suhu, nadi, respiratorik)
b.
Mata terlihat tidak lurus
c.
Bola mata bergulir tidak sampai ke ujung saat melirik
d.
Aktifitas: Perubahan aktifitas sehari-hari karena
berkurangnya penglihatan, Merasa takut melakukan pergerakan bola mata karena
luka operasi.
e.
Rasa aman: Pasien gelisah karena mata merasa lelah, Nyeri
kepala
f.
Persepsi sensori
g.
Penglihatan: Kedua bola matanya tidak focus pada satu tempat
ketika melihat suatu benda
B.
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin
Muncul
1.
Gangguan persepsi diri berhubungan
dengan gangguan penerimaan sensori/gangguan status organ indera
2.
Ansietas/ketakutan berhubungan dengan
perubahan status kesehatan (nyeri pada kepala, kelelahan pada mata)
3.
Kurang pengetahuan/informasi
berhubungan dengan kondisi, prognosis dan pengobatan
C.
Intervensi (Rencana Tindakan)
1.
DX I: Gangguan persepsi diri
berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/perubahan status organ indera
a. Kaji derajat
dan durasi gangguan visual
Rasional:
Meningkatkan pemahaman perawat tentang kondisi klien
b. Orientasikan
klien pada lingkungan yang baru
Rasional:
Memberikan peningkatan kenyamanan, kekeluargaan serta kepercayaan klien-perawat
c. Dorong klien
mengekspresikan perasaan tentang gangguan penglihatan
Rasional:
meningkatkan kepercayaan klien-perawat dan penerimaan diri
d. Lakukan
tindakan untuk membantu klien menangani gangguan penglihatannya
Rasional:
Menurunkan kemungkinan bahaya yang akan tejadi sehubungan dengan gangguan
penglihatan
2.
DX II: Ansietas/ketakutan
berhubungan dengan perubahan status kesehatan (nyeri pada kepala, kelelahan
pada mata)
a.
Orientasikan klien pada lingkungan
yang baru
Rasional: Membantu mengurangi ansietas dan
meningkatkan keamanan
b.
Beritahu klien tentang perjalanan
penyakitnya
Rasional: Memberikan informasi kepada klien tentang
penyakitnya dan mengurangi ansietas
c.
Beritahu klien tentang tindakan
pengobatan yang akan dilakukan.
Rasional: Mengurangi ansietas klien
3.
DX III: Kurang pengetahuan/informasi
tentang kondisi, prognosis dan pengobatan
a.
Kaji informasi tentang kondisi
individu, prognosis dan pengobatan
Rasional: Meningkatkan pemahaman perawat tentang
kondisi klien.
b.
Beritahu klien tentang perjalanan
penyakitnya serta pengobatan yang akan dilakukan
Rasional: Memberikan informasi kepada klien tentang
penyakitnya.
c.
Anjurkan klien menghindari membaca
terlalu lama dan membaca dengan posisi tidur, menonton TV dengan jarak terlalu
dekat.
Rasional: Membaca terlalu lama dan membaca dengan
posisi tidur, menonton TV dengan jarak terlalu dekat dapat mengakibatkan
kelelahan pada mata.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dokter Fakultas Unair. 1984. Ilmu Penyakit Mata. Airlangga
University: Surabaya.
Ilyas, Sidarta. 2005. Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Balai
Penerbit FKUI: Jakarta.
0 comments:
Post a Comment