LAPORAN PENDAHULUAN RINOSINUSITIS
A.
Pengertian
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi
hidung dan sinus paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang
karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri
pathogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi
jamur, infeksi gigi, dan dapat pula terjadi akibat fraktur dan tumor (Benninger
dan Gottschall, 2006; Soetjipto dkk, 2006).
Rinosinusitis merupakan peradangan mukosa hidung dan sinus
paranasal, yang selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks osteomeatal oleh
infeksi, obstruksi mekanik atau alergi (Hwang dkk, 2009; Jorissen dkk, 2000; Baroody,
2007).
Rinosinusitis adalah peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal,
dikatakan kronis apabila berlangsung paling sedikit 12 minggu (CDK, 2010).
Sinusitis dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah
satu atau lebih mukosa sinus paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis
sehingga sering disebut sebagai rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis
(Soetjipto D & Wardani RS, 2007).
Rinosinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang
organ sinus paranasal dan kavitas nasal. Sejak pertengahan tahun 1990, kata sinusitis
telah diganti menjadi istilah rinosinusitis, dimana jarang ditemukan kasus sinusitis
tanpa rhinitis dan juga penyakit rhinitis yang selalu disertai dengan sinusitis
(Lee, 2008).
Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik
didefinisikan sebagai gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus paranasalis
dan pada mukosa hidung yang telah mengalami perubahan reversibel maupun irreversible
dengan berbagai etiologi dan faktor predisposisi dan 1,2,3 berlangsung lebih dari
12 minggu RSK masih merupakan tantangan dan masalah dalam praktek umum maupun spesialis
mengingat anatomi, etiologi serta penanganannya yang kompleks (Harowi dkk, 2011).
Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus
paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih
dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah
2 kriteria minor (Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006; Soetjipto, 2006; Setiadi M,
2009).
Rinosinusitis (RSK) merupakan istilah yang lebih tepat karena
sinusitis jarang tanpa didahului rinitis dan tanpa melibatkan infl amasi mukosa
hidung. Rinosinusitis menjadi penyakit berspektrum infl amasi dan infeksi mukosa
hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis didefinisikan sebagai gangguan akibat
infl amasi mukosa hidung dan sinus paranasal; dikatakan kronik apabila telah berlangsung
sekurangnya 12 minggu (Benninger dkk, 2003).
Menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck
Surgery 1996, rinosinusitis adalah peradangan kronik pada satu atau lebih mukosa
sius paranasal. Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan dari mukosa hidung,
sehingga sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis dan gejala-gejala obstruksi
nasi, rinore serta hiposmia dijumpai pada rinitis maupun sinusitis. Berdasarkan
Task force yang dibentuk oleh American Academy of Otolaryngic Allergy
(AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS), rinosinusitis kronik didefinisikan
sebagai rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor
atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor (Hwang dkk, 2003; Jirapongsananuruk,
1998 cit Setiadi 2009).
Rinosinusitis (maksila) adalah inflamasi pada mukosa hidung
dan sinus paranasal (sinus maksila), ditandai oleh dua atau lebih gejala, diantaranya
terdapat sumbatan hidung/obstruksi/ kongesti, atau ada sekret hidung (anterior/posterior
nasal drip), rasa nyeri/tertekan pada wajah, berkurang atau hilangnya penghidu;
juga temuan endoskopik: adanya sekret mukopurulen terutama dari meatus medius, atau
edema/sumbatan mukosa terutama di meatus medius dan atau adanya perubahan mukosa
dalam kompleks osteomeatal dan atau sinus pada temuan tomografi komputer/CT scan
(Fokkens dkk, 2007).
B.
Klasifikasi
Pinheiro et al. (1998) dalam CDK (2010), membagi rinosinusitis
ditinjau dari lima aksis, yaitu:
1. Gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik)
Menurut Konsensus International (2004) dalam Soetjipto &
Wardani (2007) membagi rinosinusitis menjadi:
a.
Akut dengan batas
sampai 4 minggu
b. Sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau
12 minggu
c.
Kronik bila lebih
dari 3 bulan atau 12 minggu
Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan sinus
paranasal yang menetap selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut berulang
pertahun yang masing-masing serangan lebih dari 10 hari.
2. Lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis,
dan sphenoidalis)
3. Organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur)
4. Keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi)
5. Modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal)
Klasifikasi lain didasarkan ditemukan ada tidaknya alergi,
membagi rinosinusitis menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya
infeksi dibagi dalam rinosinusitis infeksi dan noninfeksi. Rinosinusitis infeksi
biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas akut yang disebabkan virus,
biasanya infeksi bakteri merupakan lanjutan dari infeksi virus. Infeksi virus biasanya
akan membaik tanpa terapi setelah 2 minggu. Virus yang biasa menjadi penyebab adalah
virus influenza, corona virus dan rinovirus. Infeksi virus sering diikuti infeksi
bakteri terutama kokkus (streptococcus pneumonia dan staphilococcus aureus) dan
haemophilus influenza. Rinosinusitis kronik noninfeksi Bisa disebabkan alergi, faktor
lingkungan (misalnya polutan) dan penyebab fisiologik atau yang berkaitan dengan
usia (misalnya rinitis vasomotor dan perubahan hormonal).
Pembagian berdasarkan derajat sinusitis digunakan gambaran
radiologis untuk menunjukkan berat ringannya penyakit. Pembagian secara radiologis
telah banyak dilakukan di antaranya menurut Lund MacKay. Pembagian menurut sistem
Lund MacKay didasarkan pada pengukuran obyektif kelainan masing-masing sinus dengan
skor 0 bila tidak ditemukan kelainan, skor 1 bila ditemukan opasitas parsial, skor
2 bila ditemukan opasitas total sinus, dan penilaian patensi osteomeatal komplek.
Sistem ini banyak dipakai karena mampu mengukur kelainan masing-masing sinus secara
obyektif, dapat dipakai untuk kasus individual, dan mempertimbangkan kondisi komplek
osteomeatal (Zeinreich, 2004).
C.
Etiologi
1. Faktor Host
a.
Umur, Jenis Kelamin
dan Ras
Rinosinusitis kronik
merupakan penyakit yang dapat mengenai semua kelompok umur, semua jenis kelamin
dan semua ras.
b.
Riwayat Rinosinusitis
Akut
Rinosinusitis akut
biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan atas seperti batuk dan
influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat menyebabkan edema pada mukosa hidung,
hipersekresi dan penurunan aktivitas mukosiliar. Rinosinusitis akut yang tidak diobati
secara adekuat akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak
lengkap, akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi
infeksi.
c.
Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis maksila. Hal ini terjadi
karena sinus maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar
dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang
berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi
sinus maksila.
d. Rinitis Alergi
Alergi merupakan
suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing yang menimbulkan gejala
pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada kebanyakan orang tidak menimbulkan
reaksi apapun.39 Rinitis alergi adalah suatu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas
tipe I (Gell & Comb) yang diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai
organ sasaran utama. Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-bersin, hidung tersumbat
dan gatal.
Peranan alergi pada
rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti bodi menimbulkan pembengkakan
mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium
sinus dan mengganggu drainase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya
menghancurkan epitel permukaan. Kejadian yang berulang terus-menerus dapat menyebabkan
rinosinusitis kronis.
e.
Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik. Hal ini
disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam kondisi immunocompromised
atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga lebih rentan terkena penyakit
infeksi seperti rinosinusitis.
f.
Asma
Asma merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik. Sebesar 25-30 % penderita
asma dapat berkembang menjadi polip hidung sehingga mengganggu aliran mukus.
g.
Kelainan anatomi
hidung
Kelainan anatomi
seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar, hipertrofi atau paradoksal konka
media dan konka bulosa dapat mempengaruhi aliran ostium sinus, menyebabkan penyempitan
pada kompleks osteomeatal dan menggangu clearance mukosilia sehingga memungkinkan
terjadinya rinosinusitis.
h. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital
seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik dapatmengganggu transport mukosiliar
(sistem pembersih). Sindrom kartagener atau sindrom silia immortal merupakan
penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana terjadi kekurangan/ketiadaan lengan
dynein sehingga menyebabkan terjadinya gangguan pada koordinasi gerakan silia
dan disorientasi arah dari denyut silia. Gangguan pada transport mukosiliar dan
frekuensi denyut silia menyebabkan infeksi kronis yang berulang
sehingga terjadi bronkiektasis dan rinosinusitis. Pada fibrosis kistik terjadi perubahan
sekresi kelenjar yang menghasilkan mukus yang kental sehingga menyulitkan pembersihan
sekret. Hal ini menimbulkan stase mukus yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi
kuman dan timbul infeksi.
2.
Faktor Agent
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri
patogen seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella catarrhalis,
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides, Peptostreptococcus,
Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri, rinosinusitis juga
dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus
dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3.
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis
kronik yaitu polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi
saluran hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia. Apabila
berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronik. Udara dingin akan
memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus membengkak. Hal ini membuat
jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam sinus, yang kemudian menyebabkan
bakteri berkembang di daerah tersebut
D.
Anatomi Dan Fisiologi
Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan
rongga di dalam tulang kepala
yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. Sinus paranasal terdiri
dari empat pasang sinus yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus
sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal berfungsi sebagai pengatur kondisi udara,
penahan suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan
tekanan udara, dan membantu produksi mucus untuk membersihkan rongga hidung.
Secara embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi
mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali
sinus sfenoid dan sinus frontal. Semua rongga sinus dilapisi oleh mukosa yang merupakan
lanjutan dari mukosa hidung, berisi udara dan semua sinus mempunyai muara (ostium)
di dalam rongga hidung.
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu kelompok anterior dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal,
sinus maksila, dan sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior terdiri dari sel-sel
posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid.
Pembagian Sinus Paranasal
1. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar dan terdapata
pada daerah tulang maksila. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian
berkembang mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml (34 x 33 x 23mm) saat berusia 15-18
tahun. Bentuk sinus maksila ini adalah seperti piramida dengan bagian puncak menghadap
ke lateral dan meluas ke arah prosesus zygomatikus dari maksila.
Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang kadang juga gigi taring
dan gigi molar M3. Akar-akar gigi tsb dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan rinosinusitis.
2.
Sinus Frontal
Sinus frontal terletak di os frontal dan mulai terbentuk sejak
bulan keempat fetus. Sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10
tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun.7 Volume sinus ini sekitar 6–7 ml (28 x 24 x 20 mm). Sinus frontal biasanya
bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran lekuk-lekuk
dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
3.
Sinus Etmoid
Sinus etmoid merupakan struktur yang berisi cairan pada
bayi yang baru dilahirkan. Pada saat janin yang berkembang pertama adalah sel anterior
diikuti oleh sel posterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai umur 12 tahun.
Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14 mm). Bentuk
sinus etmoid seperti piramid dan dibagi menjadi multipel sel oleh sekat yang tipis.
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang
sempit, disebut resesus frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Di dalam
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan rinosinusitis
frontal dan peradangan di infindibulum dapat menyebabkan rinosinusitis maksila.
4.
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan rongga yang terletak di dasar tengkorak,
tidak berhubungan dengan dunia luar sehingga jarang terkena infeksi. Sinus ini terletak
dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.7 Sinus sfenoid dibentuk di
dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin dan tidak berkembang hingga usia 3
tahun.
Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun dengan volume
sekitar 7,5 ml (23 x 20 x 17 mm). Sebelah superior sinus sfenoid berbatasan dengan
fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferior dengan atap nasofaring,
sebelah lateral dengan sinus kavernosus Dan A. Karotis Interna Dan Sebelah Posteriornya
Berbatasan Dengan Fosa Posterior Di Daerah Pons
E.
Patofisiologi
Patofisiologi
rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas
sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor tersebut
merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor mukus dan menurunnya
ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi
rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil proses radang di area
kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase
dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan
mengakibatkan terjadinya hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang
merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga
memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi
mukosa yang memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan
dengan membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi
sinus.
Faktor predisposisi
rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi mekanik seperti septum deviasi,
hipertrofi konkha media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga
hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka
panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi
udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan
kerusakan silia.
Pathway Rinosinusitis
F.
Gejala dan Tanda
Klinis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor
atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan
nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN (Busquets JM, 2000;
Draft, 1995; Stankiewicz, 2001).
1. Gejala Mayor :
a.
Hidung tersumbat
b.
Sekret pada hidung
/ sekret belakang hidung / PND
c.
Sakit kepala
d.
Nyeri / rasa
tekan pada wajah
e.
Kelainan penciuman
(hiposmia / anosmia)
Download disini
0 comments:
Post a Comment